Welcome to www.kaosbordirlogo.blogspot.com .

Proyek abadi pantura

    
JALAN raya di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa tak pernah berhenti bersolek saban tahun. Ibarat orang lapar, jalur pantura Jawa tak kunjung kenyang walau disuapi makanan terus-menerus tiap tahun.

Jalur pantura pun menjelma menjadi proyek 'abadi' dengan nilai sangat dahsyat, mencapai triliunan rupiah. Dalam beberapa tahun terakhir, tiap menjelang Lebaran tiba, dana melimpah tersebut menggerojok dalam bentuk proyek perbaikan jalan.

Pemerintah mengalokasikan dana penanganan jalan yang membentang sepanjang 1.341 kilometer tersebut lebih dari Rp1 triliun setiap tahun. Dalam empat tahun terakhir, anggaran senilai Rp4,68 triliun digelontorkan untuk jalan di pantura. Pada tahun ini, Kementerian Pekerjaan Umum menganggarkan Rp1,28 triliun.

Celakanya, peruntukan anggaran tahunan lebih dari Rp1 triliun tersebut didominasi untuk pemeliharaan rutin dan berkala. Hanya sebagian kecil anggaran digunakan untuk membangun jalan baru yang rata-rata panjangnya hanya 20 km per tahun.

Begitu musim proyek perbaikan tiba, jalan di pantura Jawa pun berubah menjadi ladang 'penyiksaan' bagi pemakai jalan raya. Kemacetan mengular hingga puluhan kilometer dengan durasi waktu macet sampai lebih dari 5 jam pun menjadi menu tahunan. Perjalanan dari dan ke Jakarta-Tegal yang biasanya ditempuh selama 5-7 jam kini menjadi sekitar 12 jam. 

Mobilitas ekonomi pun terhambat. Amat wajar jika akal waras publik tergoda untuk bertanya mengapa perbaikan jalan pantura Jawa selalu dilakukan saban tahun? Bagaimana bisa perbaikan jalan yang menelan biaya triliunan rupiah tersebut berusia teramat pendek?

Wajar belaka jika muncul kecurigaan bahwa proyek perbaikan jalan pantura sengaja dibuat 'abadi'. Jangan-jangan, begitu kira-kira kesimpulan yang ada di benak masyarakat, proyek tersebut harus ada setiap tahun karena ia menjadi urusan hajat hidup para pemburu proyek.

Pemerintah berdalih perbaikan itu harus dilakukan karena kondisi jalan yang selalu rusak tiap tahun juga. Beban jalan dan cuaca hujan pun jadi alasan pembenar atas rusaknya jalan sambil menegasikan kualitas perbaikan.

Kata pemerintah, jalan yang menurut undang-undang hanya boleh dilalui angkutan dengan muatan maksimal 10 ton pada faktanya dilewati angkutan dengan muatan hingga 19 ton. Namun, bukankah beban jalan amat terkait dengan pengawasan pemerintah atas angkutan? Bukankah pula sudah ada jembatan timbang lengkap dengan perangkat sanksi jika ada angkutan yang melebihi tonase?

Keluhan soal beban jalan kian meneguhkan bahwa pemerintah memang tidak berdaya mengawasi pemakai jalan raya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa jalan raya telah menjadi ruang terang praktik negosiasi uang antara aparat dan pembawa angkutan. Di situ berlaku rumus 'tawar-menawar harga pas tancap gas'.

Proyek abadi jalur pantura sekaligus mempertontonkan buruknya pembangunan infrastruktur di negeri ini. Padahal, ketersediaan infrastruktur menjadi syarat penting masuknya investasi.

Jika pemerintah mau lebih tegas mengawasi dan cerdas merencanakan pembangunan infrastruktur, dana triliunan rupiah itu bisa dialihkan untuk infrastruktur lainnya. Dana melimpah itu, misalnya, bisa dipakai untuk merampungkan proyek rel ganda kereta api di jalur tersebut.

Itu sekaligus menjadi solusi mengurangi beban jalur pantura yang kian padat. Namun, jika rumus sejatinya memang demi melanggengkan proyek, cara apa pun tak akan mempan.

Related Post:

Share this article now on :